Minggu, 15 Februari 2015

Clarity

Selamat hari Ahad dan selamat Hari Kanker Anak Sedunia! Dalam rangka memperingati sekaligus prihatin atas data akan penderita kanker, yang harus disayangkan selalu merangkak. Saya membuat drabble (cerita singkat) dan baru saja dibuat di saat terkepung tugas-tugas yang menumpuk. /lirik tanggal UTS/

Kali ini, saya tetap memakai nama Jepang dan super singkat xD. Silakan~

P.s : Ini cukup abal, lho.






Clarity

by AshielaPA

“Kau akan ada di sebelahku selalu, bukan, Sora?”

Suara familiar tersebut membuat Sora terkesiap dari lamunannya, sepasang irisnya mengobservasi seluruh ruangan. Warna dinding dan aroma kimiawi menguar kuat yang tidak asing, rupanya. Suara mezzo sopran tersebut terus terniang, cercaan pertanyaan yang sama terulang seperti radio yang usang.

Cahaya hidupnya telah redup, terenggut takdir Tuhan yang keji. Dan, sialnya, Miyazawa Reiko adalah cahaya bagi Akira Sora.

Sora menatap pilu Reiko yang terbaring lemah di atas ranjang itu. Menyatu dengan alat-alat kedokteran yang masa bodohlah sebutannya apa. Ia bangkit dari kursi, menghampiri gadis itu. Mengacak penuh afeksi helai-helai hitam legam nan lembut itu.

Sora menghela napas kasar. Sudut matanya terasa panas, paru-parunya terlalu penuh, butuh oksigen cepat.

Acap kali dia melakukan hal ini, hatinya selalu tertohok sangat dalam. Memoar-memoar masa lalu terputar tanpa perintah darinya. Memoar bersama Reiko, tentunya. Dia sedang tersandung, terjerembab dalam jurang tanpa dasar.

Seandainya Reiko tak terdiagnosis penyakit Limosin─ah, kanker Limfosit. Sudah dapat dipastikan kemana langkah mereka berdua akan berakhir.

Tetapi, Tuhan lebih berhak menentukan. Man purposes, God disposes.

Kelopak mata diturun-naikkan cepat, terasa lembab dan basah. Paru-parunya terasa penuh sesak, oksigen di sekitarnya kian menipis. Setitik cairan bening melesat di bawah alam sadar Sora.

Dia laki-laki, sah-sah saja untuk meluapkan emosi, toh, dia juga makhluk ciptaan Tuhan. Tetapi, gengsi Sora yang menjulang tinggi mengalahkan teori tanpa dasar tersebut. Untunglah dia berada di ruang tertutup, jika tidak akan dibawa kemana mukanya? Buang ke laut saja, hah, pikirnya.

Sora menyeka benda cair sialan tersebut. Alih-alih berhenti, turunnya semakin deras tak terkendali. “Aku tidak tahu akan tahan berapa lama lagi, bodoh,” Sora bemonolog. Kemudian tawa sumbang terlontar dari bibirnya.

Dia mengecup lembut kening Reiko. Dingin menyapu bibirnya. Apa hidupnya senestapa itu sampai sedepresi sekarang? Ah, Sora bukan lelaki kuat seperti orang-orang yang mengecap dirinya sembarangan.

Dia tahu rasa sakit yang dirasakan Sora. Seandainya sakit itu bisa ditukar dengan hidupnya, dia rela. Pasalnya, dia tak ingin kehilangan orang yang memotivasinya untuk hidup. Bukan sekedar motivatisi seperti di televisi.

Karena Reiko adalah motivator sekaligus orang pertama yang membangunkannya dari keterpurukan yang menyergapnya. 

“Cepatlah bangun agar aku bisa menepati janjiku, Reiko.”

Tidak ada komentar :

Posting Komentar