Kali ini, saya tetap memakai nama Jepang dan super singkat xD. Silakan~
P.s : Ini cukup abal, lho.
Clarity
by AshielaPA
“Kau akan ada di sebelahku selalu, bukan, Sora?”
Suara
familiar tersebut membuat Sora terkesiap dari lamunannya, sepasang irisnya
mengobservasi seluruh ruangan. Warna dinding dan aroma kimiawi menguar kuat
yang tidak asing, rupanya. Suara mezzo
sopran tersebut terus terniang, cercaan pertanyaan yang sama terulang
seperti radio yang usang.
Cahaya
hidupnya telah redup, terenggut takdir Tuhan yang keji. Dan, sialnya, Miyazawa
Reiko adalah cahaya bagi Akira Sora.
Sora
menatap pilu Reiko yang terbaring lemah di atas ranjang itu. Menyatu dengan
alat-alat kedokteran yang masa bodohlah sebutannya apa. Ia bangkit dari kursi,
menghampiri gadis itu. Mengacak penuh afeksi helai-helai hitam legam nan lembut
itu.
Sora
menghela napas kasar. Sudut matanya terasa panas, paru-parunya terlalu penuh,
butuh oksigen cepat.
Acap
kali dia melakukan hal ini, hatinya selalu tertohok sangat dalam. Memoar-memoar
masa lalu terputar tanpa perintah darinya. Memoar bersama Reiko, tentunya. Dia
sedang tersandung, terjerembab dalam jurang tanpa dasar.
Seandainya
Reiko tak terdiagnosis penyakit Limosin─ah, kanker Limfosit. Sudah dapat
dipastikan kemana langkah mereka berdua akan berakhir.
Tetapi,
Tuhan lebih berhak menentukan. Man
purposes, God disposes.
Kelopak
mata diturun-naikkan cepat, terasa lembab dan basah. Paru-parunya terasa penuh
sesak, oksigen di sekitarnya kian menipis. Setitik cairan bening melesat di
bawah alam sadar Sora.
Dia
laki-laki, sah-sah saja untuk meluapkan emosi, toh, dia juga makhluk ciptaan
Tuhan. Tetapi, gengsi Sora yang menjulang tinggi mengalahkan teori tanpa dasar tersebut. Untunglah
dia berada di ruang tertutup, jika tidak akan dibawa kemana mukanya? Buang ke laut saja, hah, pikirnya.
Sora
menyeka benda cair sialan tersebut. Alih-alih berhenti, turunnya semakin deras
tak terkendali. “Aku tidak tahu akan tahan berapa lama lagi, bodoh,” Sora
bemonolog. Kemudian tawa sumbang terlontar dari bibirnya.
Dia mengecup lembut kening Reiko. Dingin menyapu bibirnya. Apa hidupnya senestapa itu sampai sedepresi sekarang? Ah, Sora bukan lelaki kuat seperti orang-orang yang mengecap dirinya sembarangan.
Dia tahu rasa sakit yang dirasakan Sora. Seandainya sakit itu bisa ditukar dengan hidupnya, dia rela. Pasalnya, dia tak ingin kehilangan orang yang memotivasinya untuk hidup. Bukan sekedar motivatisi seperti di televisi.
Karena Reiko adalah motivator sekaligus orang pertama yang membangunkannya dari keterpurukan yang menyergapnya.
Dia mengecup lembut kening Reiko. Dingin menyapu bibirnya. Apa hidupnya senestapa itu sampai sedepresi sekarang? Ah, Sora bukan lelaki kuat seperti orang-orang yang mengecap dirinya sembarangan.
Dia tahu rasa sakit yang dirasakan Sora. Seandainya sakit itu bisa ditukar dengan hidupnya, dia rela. Pasalnya, dia tak ingin kehilangan orang yang memotivasinya untuk hidup. Bukan sekedar motivatisi seperti di televisi.
Karena Reiko adalah motivator sekaligus orang pertama yang membangunkannya dari keterpurukan yang menyergapnya.
“Cepatlah
bangun agar aku bisa menepati janjiku, Reiko.”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar