Minggu, 01 Maret 2015

[Fictogeminto] Fragille

Hai! Ini hari libur dan masih ada UTS~!/dor. Post kali ini berisi kisah fiksi dalam bentuk fictogeminto. Arti fictogeminto sendiri adalah segala karya fiksi yang jika dibaca dari awal sampai akhir atau sebaliknya tetap membentuk cerita utuh atau fiksi kembar yang dibaca dari awal sampai akhir dan sebaliknya. Intinya, ada dua alur dalam satu cerita. Saya sadar kalau ini memaksakan ada dua alur, orz. Daripada kelamaan, silakan disimak~

Warning(s): Typo(s), less dialogue, abal dan panjang.





Seutuhnya ditulis untuk kesenangan penulis.

Fragille


Sejak saat itu Akira Nowada merelakan hatinya membentuk lubang hitam tanpa celah.

Hati Nowada sudah penuh cinta nyaris membusuk jadi benci. Terhunus relung sanubarinya setiap kali melihat dan mendengar secara serta-merta pertunjukkan opera sabun murahan tanpa jeda dari lantai satu rumahnya.

Waktu pulang sekolah bukanlah waktu yang diidam-idamkan Nowada dengan status pelajar sekolah menengah atas. Aktivitas klub yang diikutinya pun hanya alasan belaka, sedikit pengalihan dari tekanan pada batinnya.

Baginya, rumahku nerakaku. Bukan sapaan hangat seperti dahulu, bukan melingkarnya seluruh anggota untuk makan malam layaknya tradisi keluarga Akira, bukan juga ketentraman yang diinginkan saat mengulang pelajaran.
                                                                                                                    
Dentingan logam, serpihan kaca tersebar di lantai, menggores kakinya setiap kali melangkah, beradu argumen dengan dua insan yang sempat dia pandang adalah mimpi buruknya, sayangnya, hal itu menjadi realita tak terbantahkan.

Dia adalah korban. Korban dari lunturnya kasih sayang, korban dari hllangnya akal sehat dan berujung anomali emosi jiwa kedua sosok itu. Tak ada namanya kasih sayang dalam kamus Nowada sejak saat itu.

Sengaja ia tulikan pendengarannya, balik meringkuk dalam selimut, dan membiarkan intonasi tinggi mendominasi udara dingin menembus tulangnya. Setitik air menganak sungai di pipi Nowada. Setiap waktu selalu terjadi bagai rekaman usang yang ditemukan di gudang.

“Aku merindukan Kak Hyde, kembalilah,” pintanya lirih pada angin malam.

Kapan? Kapan hal yang paling dia benci akan berakhir? Akankah takdir terus menjerumuskannya ke jurang tanpa dasar?

Goresan-goresan pada epidermis kulit menghiasi kedua lengannya adalah bukti konkret. Intimasinya dengan sebilah pisau kecil tak terbantahkan. Urat yang menyembul di perpotongan leher atau pergelangan lengannya acap kali menjadi targetnya.

Bukannya Nowada tak berani menentang haknya yang telah tersita. Bukannya ia tak mau menuntut sebagai anak laki-laki yang pemberani. Percuma untuk melawan, kesia-siaan semata yang direngkuhnya.

Dalam sekejap bantingan pintu kembali mengalihkan atensinya. Diintipnya dari balik selimut sekedar menengok. Bulu romanya tegak sempurna akibatnya. Sungguh, lebih baik dia bertemu malaikat maut daripada berurusan dengan makhluk di hadapannya.

Sosok itu masih terdiam di ambang pintu tanpa gerakan. Deru napas makhluk di depannya menguar di udara. Aroma yang tabu bagi anak kecil seperti dia tajam menusuk indera penciumannya, melambatkan kerja impulsnya. Tatapan merah gelap bak serigala kelaparan berhasil membunuh nyali Nowada.

Nowada tak tahu harus bagaimana tatkala salah satu entitas yang ditakutinya datang bak angin lalu. Percuma saja memasang wajah tanpa ekspresi andalannya. Bahkan, sebaliknya. Lidahnya kelu, tangannya gemetar hebat, ketakukan berhasil menyergapnya. Hanya selimut satu-satunya senjata yang ia miliki.

Seandainya bumi dapat menelannya hidup-hidup, ia rela lenyap saat itu saja. Seandainya Nowada memiliki kekuatan gaib seperti tokoh animasi favoritnya, ia bersyukur. Seandainya ia bisa melawannya, ia pasti bangga. Seandainya kakaknya ada di sampingnya, ia akan memeluknya erat.

Ah, iya. Nowada adalah seorang pengandai paling handal. Mimpi-mimpi yang tak mungkin terkabulkan pun tertata rapi dalam benaknya dan diucapnya tiap malam. Karena Nowada jugalah seorang optimisme kelas kakap.

Ia belum siap menerima kenyataan yang ada, ia hanya mampu menelan mentah-mentah dari  dampak yang diakibatkan. Seandainya kejadian setahun lalu tidak direncakan oleh Tuhan, sudah pasti hal seperti ini dia tanggung sendiri.

Seandainya Akira Hyde tak meninggalkan mereka terlalu cepat.

Insiden setahun lalu merupakan titik balik hidupnya. Tak ada yang menyangka jika hal tragis tersebut berhasil mendestruktif keluarga tersebut. Meninggalkan sayatan tanpa bekas, samar namun perih.

Memori masa lampaunya masih terpatri di benak Nowada. Suara baritone Hyde masih menjadi musik favoritnya, selalu terputar tanpa perintah. Sosok yang dikagumi sekaligus dibenci Nowada sudah terbaring nyaman dalam dekapan bumi.

Kadang, Nowada mampu merasakan hangat dari tangan sang kakaknya, afeksi seorang kakak mengalir dalam darahnya. Seperti ekstasi bagi penggunanya : Perasaan gembira mendekapnya kembali, setelahnya kicauan sarat kekecewaan lepas dari bibirnya. Walau ia tahu, semuanya delusi belaka.

Ia masih mendengar sepatah dua kata dari bibir Hyde. Entah cibiran, semangat, sindiran, hingga pembelaan kakaknya saat kedua orang tua mereka menghukum. Senyum tipis Hyde tak dapat ditepisnya meskipun ia ingin.

Hyde adalah matahari bagi Nowada, sedangkan ia sendiri adalah benda-benda yang mengorbitnya dalam galaksi bima sakti. Tanpa Hyde waktu bisa terhenti kapan saja, dan hari akhir tak dapat terhindar.

“Hei, Nowada. Kakak bangga kepadamu!”

“Tendangan bagus, Nowada!”

“Berhati-hati kalau menyeberang! Nanti kalau ketabrak aku yang repot, lho!”

Tendensinya untuk memandang Akira Hyde jauh di depannya adalah kesalahan besar. Mematoknya sebagai panutan dalam bertindak adalah tindakan paling bodoh. Penyesalan tanpa batas harus ia tanggung akibat keputusan kekanak-kanakannya.

Kenangan pahit hingga manis menerjangnya layaknya tsunami acap kali melirik bingkai foto di atas meja belajarnya. Setiap malam atau hal buruk menimpanya kembali. Nowada selalu menaburi garam pada luka di hati nuraninya

Ia bukan karang tegar di laut buas, ia bukan matahari terik di tengah hari, ia bukan gunung yang berdiri kokoh nan tegap, ia bukan tiran yang bisa memerintah sesuka kehendak. Ia hanya tembok Berlin yang dibangun untuk diruntuhkan.

Kehidupan Akira Nowada terputar drastis.


[Silakan baca dari bawah ke atas]


Tidak ada komentar :

Posting Komentar