Hai! Ini hari libur dan masih ada UTS~!/dor. Post kali ini berisi kisah fiksi dalam bentuk fictogeminto. Arti fictogeminto sendiri adalah segala karya fiksi yang jika dibaca
dari awal sampai akhir atau sebaliknya tetap membentuk cerita utuh atau
fiksi kembar yang dibaca dari awal sampai
akhir dan sebaliknya. Intinya, ada dua alur dalam satu cerita. Saya sadar kalau ini memaksakan ada dua alur, orz. Daripada kelamaan, silakan disimak~
Warning(s): Typo(s), less dialogue, abal dan panjang.
Seutuhnya ditulis untuk kesenangan penulis.
Fragille
Sejak saat itu Akira Nowada
merelakan hatinya membentuk lubang hitam tanpa celah.
Hati Nowada sudah penuh cinta
nyaris membusuk jadi benci. Terhunus relung sanubarinya setiap kali melihat dan
mendengar secara serta-merta pertunjukkan opera sabun murahan tanpa jeda dari
lantai satu rumahnya.
Waktu pulang sekolah bukanlah
waktu yang diidam-idamkan Nowada dengan status pelajar sekolah menengah atas.
Aktivitas klub yang diikutinya pun hanya alasan belaka, sedikit pengalihan dari
tekanan pada batinnya.
Baginya, rumahku nerakaku. Bukan
sapaan hangat seperti dahulu, bukan melingkarnya seluruh anggota untuk makan
malam layaknya tradisi keluarga Akira, bukan juga ketentraman yang diinginkan
saat mengulang pelajaran.
Dentingan logam, serpihan kaca
tersebar di lantai, menggores kakinya setiap kali melangkah, beradu argumen
dengan dua insan yang sempat dia pandang adalah mimpi buruknya, sayangnya, hal
itu menjadi realita tak terbantahkan.
Dia adalah korban. Korban dari
lunturnya kasih sayang, korban dari hllangnya akal sehat dan berujung anomali
emosi jiwa kedua sosok itu.
Tak ada namanya kasih sayang dalam kamus Nowada sejak saat itu.
Sengaja ia tulikan
pendengarannya, balik meringkuk dalam selimut, dan membiarkan intonasi tinggi
mendominasi udara dingin menembus tulangnya. Setitik air menganak sungai di
pipi Nowada. Setiap waktu selalu terjadi bagai rekaman usang yang ditemukan di
gudang.
“Aku merindukan Kak Hyde,
kembalilah,” pintanya lirih pada angin malam.
Kapan? Kapan hal yang paling dia
benci akan berakhir? Akankah takdir terus menjerumuskannya ke jurang tanpa
dasar?
Goresan-goresan pada epidermis
kulit menghiasi kedua lengannya adalah bukti konkret. Intimasinya dengan
sebilah pisau kecil tak terbantahkan. Urat yang menyembul di perpotongan leher
atau pergelangan lengannya acap kali menjadi targetnya.
Bukannya Nowada tak berani menentang
haknya yang telah tersita. Bukannya ia tak mau menuntut sebagai anak laki-laki
yang pemberani. Percuma untuk melawan, kesia-siaan semata yang direngkuhnya.
Dalam sekejap bantingan pintu
kembali mengalihkan atensinya. Diintipnya dari balik selimut sekedar menengok.
Bulu romanya tegak sempurna akibatnya. Sungguh, lebih baik dia bertemu malaikat
maut daripada berurusan dengan makhluk di hadapannya.
Sosok itu masih terdiam di ambang
pintu tanpa gerakan. Deru napas makhluk di depannya menguar di udara. Aroma
yang tabu bagi anak kecil seperti dia tajam menusuk indera penciumannya,
melambatkan kerja impulsnya. Tatapan merah gelap bak serigala kelaparan
berhasil membunuh nyali Nowada.
Nowada tak tahu harus bagaimana
tatkala salah satu entitas yang ditakutinya datang bak angin lalu. Percuma saja
memasang wajah tanpa ekspresi andalannya. Bahkan, sebaliknya. Lidahnya kelu,
tangannya gemetar hebat, ketakukan berhasil menyergapnya. Hanya selimut
satu-satunya senjata yang ia miliki.
Seandainya bumi dapat menelannya
hidup-hidup, ia rela lenyap saat itu saja. Seandainya Nowada memiliki kekuatan
gaib seperti tokoh animasi favoritnya, ia bersyukur. Seandainya ia bisa
melawannya, ia pasti bangga. Seandainya kakaknya ada di sampingnya, ia akan
memeluknya erat.
Ah, iya. Nowada adalah seorang
pengandai paling handal. Mimpi-mimpi yang tak mungkin terkabulkan pun tertata
rapi dalam benaknya dan diucapnya tiap malam. Karena Nowada jugalah seorang
optimisme kelas kakap.
Ia belum siap menerima kenyataan
yang ada, ia hanya mampu menelan mentah-mentah dari dampak yang
diakibatkan. Seandainya kejadian setahun lalu tidak direncakan oleh Tuhan,
sudah pasti hal seperti ini dia tanggung sendiri.
Seandainya Akira Hyde tak
meninggalkan mereka terlalu cepat.
Insiden setahun lalu merupakan
titik balik hidupnya. Tak ada yang menyangka jika hal tragis tersebut berhasil
mendestruktif keluarga tersebut. Meninggalkan sayatan tanpa bekas, samar namun
perih.
Memori masa lampaunya masih
terpatri di benak Nowada. Suara baritone Hyde masih menjadi musik favoritnya,
selalu terputar tanpa perintah. Sosok yang dikagumi sekaligus dibenci Nowada
sudah terbaring nyaman dalam dekapan bumi.
Kadang, Nowada mampu merasakan
hangat dari tangan sang kakaknya, afeksi seorang kakak mengalir dalam darahnya.
Seperti ekstasi bagi penggunanya : Perasaan gembira mendekapnya kembali,
setelahnya kicauan sarat kekecewaan lepas dari bibirnya. Walau ia tahu,
semuanya delusi belaka.
Ia masih mendengar sepatah dua
kata dari bibir Hyde. Entah cibiran, semangat, sindiran, hingga pembelaan
kakaknya saat kedua orang tua mereka menghukum. Senyum tipis Hyde tak dapat
ditepisnya meskipun ia ingin.
Hyde adalah matahari bagi Nowada,
sedangkan ia sendiri adalah benda-benda yang mengorbitnya dalam galaksi bima
sakti. Tanpa Hyde waktu bisa terhenti kapan saja, dan hari akhir tak dapat
terhindar.
“Hei, Nowada. Kakak bangga
kepadamu!”
“Tendangan bagus, Nowada!”
“Berhati-hati kalau menyeberang!
Nanti kalau ketabrak aku yang repot, lho!”
Tendensinya untuk memandang Akira
Hyde jauh di depannya adalah kesalahan besar. Mematoknya sebagai panutan dalam
bertindak adalah tindakan paling bodoh. Penyesalan tanpa batas harus ia
tanggung akibat keputusan kekanak-kanakannya.
Kenangan pahit hingga manis
menerjangnya layaknya tsunami acap kali melirik bingkai foto di atas
meja belajarnya. Setiap malam atau hal buruk menimpanya kembali. Nowada selalu
menaburi garam pada luka di hati nuraninya
Ia bukan karang tegar di laut
buas, ia bukan matahari terik di tengah hari, ia bukan gunung yang berdiri
kokoh nan tegap, ia bukan tiran yang bisa memerintah sesuka kehendak. Ia hanya
tembok Berlin yang dibangun untuk diruntuhkan.
Kehidupan Akira Nowada terputar
drastis.
[Silakan baca dari bawah ke atas]
Tidak ada komentar :
Posting Komentar