Senin, 09 Februari 2015

Under the Autumn

Hai! Ketemu lagi dengan aku, kali ini bakal memberikan satu junkfict yang awal mulanya ditulis dalam rangka meningkatkan skill. Jangan kaget kalo pace time agak lambat. Happy reading!~

Ps: yang gak suka baca panjang, maaf! :3




Under the Autumn

By me

Angin semilir menggoyangkan helaian rambut seseorang di bawah pohon sakura yang mekar. Aroma harum yang menusuk hingga menggelitik impuls untuk tersenyum. Kegiatan yang dilakukannya sekarang termasuk dalam daftar favorit dalam hidupnya.

Gadis itu memejamkan matanya, menikmati ketentraman hidupnya yang sempat terenggut. Beralaskan rerumputan hijau yang membentang luas. Kurva kecil pada wajahnya tak segan-segan mekar lebih indah. Ia menghela napas tenang dan mengistirahatkan indera penglihatannya sesaat.

Ketenangan itu hanya bertahan sekejap. Seketika pendengarannya menjadi tajam. Suara yang tak asing bagi telinganya telah mengusik ketenangannya. Ia terbangun dengan tergesa-gesa, lalu kekecewaan yang didapatkannya. Mungkin hanya khayalannya saja.

Ia merebahkan tubuhnya sebelum suara yang sama samar-samar di telinganya. Kini, ia mendengus kesal, pasalnya, sang khayalan ─yang dianggapnya─ sudah mempermainkannya. Ah, sudahlah. Mungkin aku terlalu lelah, batinnya.

Anggota tubuh atasnya disandarkan pada batang besar berwarna coklat kemerahan itu. Meregangkan syaraf-syaraf yang sempat tegang seraya menengadah ke atas. Kelopak merah muda gugur akibat angin.  Ia balik memejamkan matanya dan membuang pemandangan bunga-bunga jatuh tak terpandang. Bunga-bunga tadi menjadi media untuk mengantarnya menuju alam mimpi.

Sebelum ia menggapai ekspetasinya, gadis itu harus menelan pil pahit; suara yang sama kontan memekakan telinganya. Uh, cukup! Ia harus mencari dari mana asal suara yang sudah berani-beraninya merusak jadwal kesenangannya.

Gadis itu bangkit dari rebahannya penuh emosi. Kepalannya semakin erat serta aura di sekitarnya menggelap seolah berkata kalau ia siap mencerca dengan ribuan dan tak segan melayangkan pukulan ke wajah atau bagian vital sekalipun.

Suara yang semula samar-samar terdengar semakin jernih saat ia berjalan ke sisi pohon lainnya. Sinar mentari pagi semakin menyengat kulit putihnya. Sepasang iris cokelat tuanya menangkap sosok pemuda tersorot cahaya yang menelusup dari pohon sakura yang menaungi mereka.

Alih-alih melakukan rencana sebelumnya─memaki laki-laki itu karena sudah berani mengganggu harinya. Tubuhnya mendadak tak merespon, terpaku bersama tanah. Pandangannya tak lepas dari laki-laki yang mengalunkan nada-nada sangat familiar baginya: fur ellis.

Gadis itu terhenyak dan terhempas dalam memori masa lalunya.
Pemuda tersebut berhenti menggesekan alat musiknya. Ia menghembuskan napas teratur sebelum terperangah akan pemandangan indah sekaligus tabu baginya.

Gadis berambut merah muda itu merasakan sesak pada dadanya dan panas di kelopak matanya, genangan air asin tumpah dengan cepat. Menyusuri hingga membentuk jejak pada pipi putih nan halus itu.

Ia harus bersimpuh di tanah akibat kaki jenjangnya tak kuasa menahan beban yang tiba-tiba bertambah berat tanpa sedikit pun melepas pandangannya. Sunyi bercampur guguran bunga sakura menguasai kedua insan itu. Tanpa disadari, air matanya terurai deras dan membasahi parasnya.

Pemuda itu menghampirinya─lengkap dengan biola di tangannnya. Ia mengacak lembut puncak helaian merah muda itu. Kemudian, merengkuh gadis itu ke dalam peluknya. Mengelus punggungnya penuh kasih. Ia merelakan gakuran-nya terbasahi oleh cairan bening tersebut.


 Ia merindukan aroma khas yang semerbak dari parfum gadis musim semi itu. Memabukan, layaknya ekstasi yang menyebabkan candu untuknya. “Satoshi ... Aku merindukanmu,” kalimat klise itu terlukis jelas pada gestur gadis di hadapannya. Pemuda yang masih menggenggam biola itu melepas pelukannya, menelisik seluruh paras pucat nan ayu yang setia menghantui setiap momentum hidupnya, bibirnya berucap, “Aku juga, Ayano.”

Tidak ada komentar :

Posting Komentar